Oktober sudah jamak diingat oleh banyak orang sebagai Bulan Bahasa. Tidak lain karena bulan ini dikaitkan dengan peristiwa besar Sumpah Pemuda yang salah satu isinya, “Menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.” Penyusun Sumpah Pemuda sendiri sedemikian menghargai bahasa — yang mewakili kebudayaan — sehingga tidak langsung dipukul rata sebagai, “satu tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia.” Khusus untuk bahasa, disebut sebagai menjunjung. Jadi sekalipun kita sudah bertanah air dan berbangsa yang satu, kebudayaan kita di dalamnya, termasuk bahasa, masih menyimpan beragam jenis. Namun demikian bahasa nasional tetap dijunjung karena dengan begitulah orang banyak tersebut dapat berkomunikasi satu dengan yang lain.
Berbeda dengan bahasa negara-negara lain yang umumnya memiliki tata-bahasa yang kompleks, Bahasa Indonesia sering secara sembarangan disebut lebih sederhana. Saya tulis “secara sembarangan” karena klaim ini hanya diungkapkan sambil lalu tanpa didasari sebuah sigi yang memadai. Yang jelas, rujukan tentang aspek-aspek kebahasaan di negeri kita masih minim. Pelajaran tentang bahasa masih seperti hanya untuk fakultas sastra dan buku-buku pengajaran berbahasa minim di rak-rak toko buku kita. Tentu saja terlalu jauh jika dibandingkan dengan Bahasa Inggris misalnya yang bahkan pengajaran berbahasanya sudah menjadi industri dengan omset besar. Bahasa Belanda yang hanya digunakan di kawasan Benelux yang mini pun, memiliki materi rujukan yang cukup banyak, dari tingkat pemula dengan beberapa variasi metode, sampai pembahasan untuk pemakaian yang lanjut.
Perasaan “sederhana” pertama terhadap Bahasa Indonesia jika kita sedang mempelajari bahasa-bahasa lain adalah ketiadaan perubahan bentuk kata kerja. Baik subjek atau waktu (tenses) tidak menyebabkan perubahan apapun pada kata kerja. Saya pergi, kamu pergi, dan dia pergi; demikian juga saya pergi kemarin, saya pergi besok. Tidak ada perbedaan pada kata kerja. Saya pernah mengalami kondisi yang sulit untuk memahami pertanyaan: apa yang sedang kamu lakukan sekarang? dengan teman chatting, sehingga saya jawab pekerjaan saya waktu ini dan selanjutnya, setelah belum jelas juga, pekerjaan saya hari ini. Akhirnya lawan bicara saya menuliskannya: what are you doing NOW? (Saya menyadari juga bahwa persoalannya tidak melulu pada bentuk waktu, akan tetapi hal lainnya karena saya tidak teliti dengan keterangan waktu sekarang).
Saya sendiri belum pernah meneliti bahasa asing lain yang serupa dengan bahasa kita dalam hal ketiadaan perubahan kata kerja seperti di atas, namun umumnya bahasa-bahasa utama yang dipakai secara internasional saat ini memilikinya. Kebetulan pula bahasa-bahasa daerah di negeri kita juga tidak terlalu berbeda jauh konstruksinya dengan bahasa nasional, sehingga dengan menerjemahkan kata per kata sudah memadai hasilnya.
Memanggil orang yang sedang diajak bicara juga menjadi kesulitan tersendiri. Terutama bagi orang yang baru dikenal atau karena persoalan “menghormati.” Jika di Bahasa Belanda terdapat perbedaan jij (dibaca “yay”) dan u untuk membedakan lawan bicara yang sudah akrab dan orang yang baru dikenal, di dalam bahasa kita aturan baku tersebut tidak ada dan lebih banyak mengandalkan perasaan pemakainya. Menggunakan kamu lebih tepat untuk orang yang sudah dikenal akrab, sedangkan anda dan saudara terkadang terasa terlalu kaku atau formal. Solusinya sering kali tidak lebih baik: menggunakan nama lawan bicara, seperti bagaimana menurut Mas Amir? Itu pun masih direpotkan dengan tambahan semacam Mas yang sangat dipengaruhi bahasa daerah.
Saya ingat saat dipanggil oleh dua orang Belanda yang bisa Bahasa Indonesia dan pernah tinggal di negeri kita. Yang pertama memanggil saya dengan Bapak. Apakah karena saya sudah berumur? Ternyata tidak, dia menjelaskan bahwa dia harus berhati-hati dalam memanggil orang Indonesia yang baru dikenal. Jadi supaya cukup aman, dipakai Bapak. Pada kesempatan yang lain, saya dipanggil orang kedua dengan Tuan. Saya yang penasaran menanyakan pemilihan kata Tuan tersebut dan dijawab oleh dia bahwa itulah terjemahan dari Meneer.
Kesulitan lain yang dijumpai orang asing yang belajar bahasa kita adalah perbedaan kami dan kita. Kebetulan di dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda, keduanya dinyatakan dengan we. Seorang teman yang punya janji ketemu kolega, seorang Belanda, di stasiun menerima SMS: Kami ketemu di stasiun jam 10.00. Kami siapa, kalau yang diajak janjian adalah dia (si penerima SMS) sendiri? Sayangnya, banyak kalangan yang berbahasa ibu Bahasa Indonesia pun ikut kurang teliti menggunakan keduanya, sehingga sering terdengar seorang penjaja barang menyebut, “Kita sudah berusaha menekan harga…” Yang menentukan harga kan kalian, jadi kenapa mengikut-ikutkan saya, si calon pembeli?
Karena keelokan Bahasa Indonesia terletak pada pemakaian imbuhan, baik berupa awalan, sisipan, dan akhiran, di situ pula kesulitan yang kerap dihindari oleh mereka yang sedang belajar. Toh, memang lebih aman menyebut, “Saya tulis di kertas” ketimbang “Saya menulis di kertas.” Tulis, menulis, menuliskan, atau menulisi? Perkara imbuhan ini beberapa kali saya “membesarkan hati” teman di sini, “Jika kalian anggap Bahasa Indonesia itu sederhana tata bahasanya, coba kalian bayangkan seseorang yang baru belajar dan salah ucap, ‘Saya mau meniduri anak saya’, padahal maksudnya, ‘Saya mau menidurkan anak saya’.” Jadi jangan main-main!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar